valseachn


“Lo kenapa kak?” tanya Ale yang membuyarkan lamunannya.

“Enggak”

“Sama adek sendiri aja gak mau cerita,” sahut Eric. Hari ini, Eric memutuskan untuk menginap di rumah Kia. Selain karena rindu pada sepupunya, Eric akan kembali ke Amerika minggu depan. Jadi, ia gunakan kemsempatan yang tersisa untuk menghabiskan waktunya dengan sepupu tersayang, terlebih Eric adalah anak tunggal sehingga ia tidak mempunyai teman bermain.

“Emang aneh dia mah. Biarin aja. Nanti juga kalo pusing nangis nangis meluk adeknya”

“Bisa manja juga lo”

“Gak usah buka kartu anying,” katanya sambil melempar bantal yang dipegangnya.

“Btw, Riri Riri itu kabarnya gimana?”

“Eh iya gimana tuh? Dulu lo sering banget julidin dia, sekarang kok gaada julidan lagi?”

“Aneh. Dia berubah”

“Bagus dong”

“Ya bagus sih, gua juga seneng dia berubah. Tapi gimana ya, kayak aneh aja gak sih? Masa sebulan langsung berubah”

“Terus lo apain Riri nya sekarang?”

“Gua baikin”

“Lah?”

“Berubahnya dia tuh jadi lebih... kalem mungkin? Terus jadi sering menyendiri, melamun, gitu deh bayangin aja sendiri”

“Oh lo iba kak?”

“Ya.. ya gitu”

“Kata gua mah lo jangan terlalu percaya sama perubahan sikapnya. Apalagi ini baru sebulan kan?”

“Gak ada yang percaya. Gua cuma bantu karena iba”

“Iya gua paham. Tapi lo kudu hati hati juga. Biasanya sikap awalnya bakal keluar setelah lo baikin”

“Iyaa”

“Lo tuh terlalu baik Ki. Sekali kali jadi jahat buat orang kayak gitu gapapa lho”

“Kemaren kemaren gua jahat sama dia”

“Ya maksud Eric tuh jahatnya gak gitu. Lo jambak jambakan kek, pukul pukulan kek”

“Itu playvictim anjing”



Hari pertama masuk sekolah, tentunya tidak boleh sampai ada yang terlambat. Iya bukan?

“Huh hah huh hah”

“Riri, kamu terlambat”

“Ma-maaf bu, macet”

“Jelas macet, kamu berangkatnya siang sekali”

“Maaf bu”

“Duduk”

Riri memilih duduk di kursi belakang. Tidak melulu nempel pada Kia, ia memutuskan untuk duduk sendiri.

Tumben? Kenapa?” batin Kia.


“Ayo kantin,” ajak Kenzie.

“Itu..” kode Kia.

“Udah ayok,” tarik Fani gemas.

“Tapi kasian Fan”

“Gila, hati lo terbuat dari apa Ki sampe lo masih peduli sama dia?”

“Gua kesel, kesel banget sama dia. Tapi kalo dia sendiri, diem, melamun, ya kasian lah”

“Terus mau lo ajak?” tanya Kenzie.

“Em..”

“Terserah lo aja Ki”

“Gua beliin makanan aja deh”

Setelahnya, ketiga gadis itu pergi meninggalkan kelas dan menyisakan Riri di kelas sendirian.

Tidak lama kemudian, Kia kembali.

“Nih,” katanya sambil membelikan batagor langganannya.

“Gua gak tahu lo suka apa engga, tapi semoga suka,” ujarnya lagi.

“Eh Kia? Aku gak laper kok. Itu buat kamu aja,” tolak Riri halus.

“Engga, gua dah makan. Lo sekarang yang makan”

Setelah lama menolak, akhirnya Riri terima juga batagor tersebut. Ia memakannya dengan lahap. Jelas sekali, dia kelaparan saat ini.



Jam makan siang tiba. Mereka semua akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak dan mengisi stamina tubuh masing masing.

“Abis ini basah basahan berani gak?” tanya Fani.

“Basah basahannya agak sorean aja, biar sekalian pulang,” jawab Kenzie.

“Yaudah habis ini naik apa?” tanya Rehan.

“Kora kora? Ontang anting?”

“Halilintar,” jawab Kia spontan.

“Lo yakin Ki?”

“Ya kenapa? B aja kali. Lo takut yaa,” ejeknya.

“Gua berani sorry sorry aja nih”

“Hayuk dah habis ini,” sambar Javie.

Semuanya begitu bersemangat, kecuali Riri. Dia takut namun dia tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Kalau mereka menganggap halilintar sebagai permainan yang biasa saja, begitu pula Riri.

“Capek gak? Aku gendong ya?” tawar Jean pada Kia.

“Gak usah. Nanti kamu yang capek”

“Mending aku yang capek dari pada kamu. Sini naik”

Tentu saja, Riri melihat hal tersebut. Ingin sekali rasanya dia menjatuhkan Kia saat itu juga.


“Harsa gimana sih, katanya berani,” ejek Kenzie.

“Dah dah, next naik apa?”

“Istana boneka yuk” ajak Riri. Ya mau tidak mau, mereka menurutinya. Kalau bukan karena Riri yang membayarkan mereka, sudah ditinggal sejak tadi.

“Eh gua mau beli minum,” ujar Kia.

“Kia aku mau ikutt,” sambung Riri. Akhirnya mereka berdua pergi ke tempat penjual minum untuk membeli minuman.

Saat sedang berjalan, entah apa yang merasuki Riri, namun dirinya menendang kaki Kia.

“Ahh, sakitt.” Dirinya terjatuh. Tendangan tadi sangatlah kuat. Bagi kaki yang masih dalam proses penyembuhan, tentunya itu menjadi masalah besar.

“Kia maaf. Aduh. Em, gimana nih. Em, gimana ya..”

“Panggil Jean”

“Jangan Jean. Yang lain aja Kia”

“GUA BILANG PANGGIL JEAN, ANJING!” Teriakan tadi membuat orang yang ada di sana melihat ke arah Kia dan Riri. Suara yang cukup besar juga membuat Jean dan yang lain pergi dari barisan antrian dan menyusul Kia yang terjatuh.

“Ki!” Jean panik. Benar benar panik.

“A-aku gak tahu kenapa Kia jatoh,” melas Riri.

“Kan lo sama Kia. Gimana sih” timpal Fani.

“Sakit, banget” ringis Kia. Segera, Jean mengendong Kia dan membawanya ke tempat yang sedikit lebih sepi. Riri? Dia pergi.



Eriano yang akrab dipanggil dengan nama Eric merupakan sepupu dari Kia. Selama 6 tahun, mereka telah dipisahkan. Kia di Indonesia, sedangkan Eric di Amerika.

Ting tong

“Gua aja,” ujar Jean. Jean keluar dan membuka pintu tersebut. Dirinya mendapati orang yang pernah mengantar Kia saat itu.

“Lo?”

“Oh ada lo juga”

“Lo ngapain?”

“Berkunjung. Misi.” Eric langsung masuk tanpa basa basi, padahal Jean belum mengizinkannya.

“Nih mcd yang lo pesen,” ujarnya sambil meletakkan kantung berisikan makanan itu.

“Eh, ini yang di grup itu bukan sih?” tanya Javie penasaran.

“Lo cakep bang. Cocok nih sama Kia,” sambung Harsa.

“WKWKWK makasih. Tapi gua gak mau sama Kia”

“Lagian siapa juga yang mau sama lo munaroh”

“Btw kaki lo gimana? Udah diobatin?”

“Ya gitu dah Ric”

“Ntar manggil tukang urut aja”

“Gak mau, takut”

“Gak mau gak mau, ntar lo gak sembuh sembuh”

“Serem. Sakit”

“Ada gua”

“Ok.” Memang, jika sudah ada Eric, Kia merasa tenang sedikit.

“Btw ini siapa lo deh Ki?” tanya Fani.

“Oh. Ini Eric, sepupu gua”

Anjing malu. Kirain selingkuhan” batin Jean.

Usai mengobrol singkat, Eric pamit ke belakang untuk membersihkan dirinya. Ia kembali ke ruang tengah untuk mengambil makanan dan minumannya.

“Lo Riri ya?” tanya Eric pada Riri. Ia duduk tepat di sebelah Riri.

“I-iya..”

“Lain kali, jangan dorong sepupu gua lagi,” bisiknya.

“Ma-maksud kamu..?”

“Gua tahu, lo yang dorong kan. Gak usah ngelak, gua punya buktinya” katanya. Ia langsung pergi dan masuk ke dalam kamar Ale.

Tentunya, Riri sekarang sangat takut. Bagaimana bisa Eric mengetahuinya?



“Woi Harsa tolongin ini Kia nya,” teriak Kenzie meminta pertolongan. Dengan segera, Harsa langsung menggendong Kia dan membawanya masuk ke dalam rumah.

“Kia kenapa nak?” tanya ibunda.

“Jatoh”

“Kok bisa?”

“Gak tahu, tadi di belakang kayak ada yang dorong, tapi pas aku liat udah gaada orangnya”

“Hah anjir gimana ceritanya bisa gitu Ki?” tanya Fani.

“Ya gua juga gak tahu. Tiba tiba aja gua udah ngedepak di lantai”

Tentu mendengar cerita Kia tadi membuat semua orang terheran – heran. Apakah ia jatuh karena ditiup angin? Sekencang apa anginnya sampai Kia bisa jatuh? Atau..?

“Ki!” Ketiga rombongan lelaki itu akhirnya tiba di kediaman Kia. Tidak lama kemudian, si bontot tiba bersama dengan salah satu gadis.

“Bunda, Ale pulang”

“Lho Le? Kamu bawa siapa itu?” tanya ibunda.

“Oh, temennya kakak”

“Lo ketemu dimana?” tanya Kenzie menyambar.

“Di sekolah. Ada yang chat gua suruh mampir sekolahan dulu buat jemput nih orang”

“Aneh bener,” sahut Harsa.

“Dah ya gua mau masuk dulu. Gws kak”

Tidak banyak yang Ale ucapkan di bawah karena ia tidak mau mengganggu sang kakak dengan teman temannya.

“Maaf ya, aku ngerepotin banget..” ujar Riri tiba tiba.

Dari dulu juga udah ngerepotin” batin Jean.



Woi Harsa tolongin ini Kia nya,” teriak Kenzie meminta pertolongan. Dengan segera, Harsa langsung menggendong Kia dan membawanya masuk ke dalam rumah.

“Kia kenapa nak?” tanya ibunda.

“Jatoh”

“Kok bisa?”

“Gak tahu, tadi di belakang kayak ada yang dorong, tapi pas aku liat udah gaada orangnya”

“Hah anjir gimana ceritanya bisa gitu Ki?” tanya Fani.

“Ya gua juga gak tahu. Tiba tiba aja gua udah ngedepak di lantai”

Tentu mendengar cerita Kia tadi membuat semua orang terheran – heran. Apakah ia jatuh karena ditiup angin? Sekencang apa anginnya sampai Kia bisa jatuh? Atau..?

“Ki!” Ketiga rombongan lelaki itu akhirnya tiba di kediaman Kia. Tidak lama kemudian, si bontot tiba bersama dengan salah satu gadis.

“Bunda, Ale pulang”

“Lho Le? Kamu bawa siapa itu?” tanya ibunda.

“Oh, temennya kakak”

“Lo ketemu dimana?” tanya Kenzie menyambar.

“Di sekolah. Ada yang chat gua suruh mampir sekolahan dulu buat jemput nih orang”

“Aneh bener,” sahut Harsa.

“Dah ya gua mau masuk dulu. Gws kak”

Tidak banyak yang Ale ucapkan di bawah karena ia tidak mau mengganggu sang kakak dengan teman temannya.

“Maaf ya, aku ngerepotin banget..” ujar Riri tiba tiba.

Dari dulu juga udah ngerepotin” batin Jean.



Jean dan Javie bergegas pergi ke tempat dimana Kia terjatuh.

“Ki!” keduanya berteriak.

“Kok bisa? Kamu gapapa?”

“Gapapa, tapi sakit. Kayaknya terkilir”

“Lo gak bisa pulang naik motor Ki. Gua pesenin grab aja ya?”

“Coba tanya Rehan, dia udah jalan belum? Kalo belum suruh Kenzie ngegrab sama Kia aja”

“Oh iya”


“KIA!” teriak Kenzie.

“Lo gapapa? Kok bisa? Sakit gak?” Terlihat jelas dari wajahnya, Kenzie khawatir dengan sahabatnya ini. Ia memeluk tubuh Kia sambil mengelus pundaknya perlahan.

“Grabnya udah di depan”

“Ayo Ki naik,” suruh Jean. Dengan bantuan dari teman temannya, kini Kia sudah berada di punggung Jean. Segera, mereka bawa Kia ke mobil agar dia bisa pulang.

“Pak, yang bener ya bawanya. Pacar saya harus sampai di rumah dengan selamat”

“Iya mas”

“Nanti kalau udah sampai, suruh Ale ato Harsa bantuin Kia turun”

“Iya udah. Sana lo balik ke motor lo”

Mobil itu melaju meninggalkan area sekolah, disusul oleh 3 motor yang mengikutinya dari belakang.



Jarum jam sudah menunjuk angka 8, namun sampai saat ini, Jean belum juga keluar dari kamarnya.

“JEAN! JEANO! JEANO RAJENDRA!” panggil sang ayah, namun tidak ditanggapi sama sekali.

“Aduh anak ini. Sebentar ya saya panggil dulu,” pamit Jefran. Namun, niatnya ini ia urungkan karena Riri ingin pergi ke kamar Jean dan memanggilnya.

“Aku aja boleh gak om?”

“Riri gak boleh gitu sayang. Ini rumah orang lho”

“Gapapa Yud, santai aja. Boleh kok Ri. Naik saja lalu belok ke kanan ya”

Segera, ia langsung berdiri dan pergi ke kamar Jean yang terletak di lantai dua.

Tok tok

“Jean?” “Jean? Kamu di dalem?” “Jean? Aku masuk ya”

Pintu itu dibuka. Kebetulan, Jean sedang mandi sehingga Riri dapat masuk dengan mudahnya. Selagi menunggu Jean, Riri sempatkan untuk berkeliling memutari kamar Jean sebentar, melihat isi setiap sudut ruangan secara rinci.

“Kenapa ada fotonya Kia sama Jean sih? Kan harusnya fotonya aku sama Jean,” katanya sambil memperhatikan foto yang terletak di meja belajar.

“Lo ngapain?” tanya Arka.

Riri yang terkejut segera membalikkan badannya. Nampaknya, dirinya tidak sengaja menyenggol foto tersebut.

“Lo ngapain gua tanya?”

“A-aku nunggu Jean..”

“Jean kemana?”

“M-m-mandi”

“Terus?”

“Y-ya gitu”

“Nunggu di luar”

“Tapi kan aku temennya, sahabat bahkan”

“Mau lo temennya, sahabatnya, orang asing, cewenya, siapalah itu. Kalo pemilik gak ada di tempat, ya nunggu di luar. Lo punya otak gak sih?”

Sret

Pintu kamar mandi itu terbuka. Jean melihat sang kakak dengan Riri ada di kamarnya.

“Ngapain?”

“Pecah,” spontan Arka sambil menunjuk sebuah frame yang telah hancur.

Plak

“Goblok”

“S-s-sakit Jean”

“Lo gak tahu seberapa pentingnya foto ini buat gua!” teriaknya. Teriakan yang keras itu mengundang sang ayah, ibu, dan ayah dari Riri untuk segera naik ke atas.

“Aku bisa ganti Jean. Kia nya bisa diganti aku. Kamu jangan marah marahh”

“Anjing”

“JEAN!” teriak Jefran. Plak

“Sopan kamu kayak gitu?”

“Sopan dia masuk kamar aku tanpa izin?”

“Saya yang izinkan”

“Papa gak punya hak. Ini kamar Jean”

“Saya punya hak. Saya kepala keluarga disini. Saya berhak atas kendali rumah ini, termasuk kamarmu”

“Lagi pula ini cuma foto. Kenapa sih?”

“Papa gak bakal tahu,” katanya. Jean segera mengambil kunci motornya yang terletak di meja belajar lalu keluar dari rumah. Tak lama kemudian, aksinya ini disusul oleh Arka di belakangnya. Terihat jelas, kedua putranya kini kecewa. Bagaimana bisa sang ayah lebih memihak orang asing dibanding darah dagingnya sendiri?

“Aduh maaf Yud jadi berantakan gini”

“Cukup tahu saja Jef. Riri emang agak ngeselin, tapi melihat anak saya diteriki anjing dan ditampar.. Saya gak tahu harus gimana lagi. Saya pamit”

“Yud..”

“Permisi. Ayo Riri”



“Selamat datang,” sapa Jefran.

“Halo om! Jean mana om?”

“Jean lagi mandi. Nanti dia turun kok, tunggu aja di bawah. Yuk masuk masuk”

Gadis itu akhirnya menginjakkan kakinya ke kediaman Jean setelah sekian lama.

“Halo tante!”

“Eh iya Riri”

“Tante masak apa buat makan malem hari ini?” tanyanya sambil melihat makanan yang telah siap.

“Kok ini doang sih tante? Gak ada yang lain gitu? Steak? Atau apa gitu?”

“Lo kalo gak mau pulang aja,” sahut Arka yang baru saja memasuki area dapur.

“Bukan gitu, tapi aku kurang level sama makanan kayak gini.. Maaf ya tante”

“Ya udah makan aja di rumah. Ngapain juga makan di rumah orang. Katanya kaya, makan kok minta”

“ARKA!” teriak Jefran.

“Apa lagi pa? Papa mau marah? Marahlah. Bukan salah aku juga,” jawabnya lalu pergi dan masuk ke kamarnya.

“Aduh maaf ya. Maklum anak cowo, susah diatur”

“Haha iya gapapa Jef. Maaf juga Riri asal ceplos”

“Engga, Riri gak salah. Arka yang salah udah lancang. Nanti saya hukum dia”



Senin, pukul 6.10. Kia telah bersiap dan hendak berangkat menuju sekolah. Sambil menunggu Jean, tidak lupa ia sempatkan untuk sarapan, walau hanya roti, setidaknya makanan tersebut dapat menambah stamina tubuh.

Tin

Sudah bisa ditebak, itu pasti Jean. Kia segera berpamitan dan bergegas pergi ke sekolah bersama dengan sang kekasih.

Dalam perjalanan, tidak banyak yang dibicarakan. Hari ini langit terbilang cukup cerah, dan Kia mau menggunakan kesempatan ini untuk menikmatinya. Tak lama kemudian, sekitar 15 menit, Kia dan Jean tiba di sekolah.

“JEAN! KIA!” panggil Riri.

Ck

“Ih Jean kok gak jemput aku sih? Jadinya aku dianter papi” ujarnya sambil memukul lengan kekar milik Jean.

Heh anjing

“Kia juga. Kenapa mau sama Jean? Kan aku sahabatnya Jean”

Heh? Sahabat? Level up nih?

“Sahabat?”

“Iya! Kemarin Jean bilang mau jadi sahabat aku”

Jean pasrah. Lagi pula, pacarnya ini pasti tahu bahwa hal itu tidaklah benar.

“Oh. Yaudah awas, gua mau masuk”

“Ih Kia! Aku sahabatnya Jean. Jadi, aku yang masuk sama Jean” ujarnya sambil menarik Kia agar melepaskan gandengannya.

“Gausah kasar sama cewe gua. Lo gua kasarin juga nangis ngadu ke bokap gua” katanya. Ia langsung menggandeng kembali tangan Kia.

Amarah kini meluap. Riri semakin lepas kendali. Yang awalnya hanya terobsesi dan ingin “berteman,” sekarang berubah menjadi niat jahat, yaitu menyingkirkan Kia bagaimanapun caranya.

Kia awas aja kamu