valseachn


Singkat cerita, Ale sudah kembali pulih dan dapat kembali bersekolah seperti biasa.

“Besok gua balik ke Amerika” “Pesawat gua jam 8 malam”

Tentu Kia begitu terkejut. Ia tahu Eric akan kembali, namun Eric tidak pernah memberi tahukan kapan dirinya kapan kembali.

Kalo Eric balik, gua bakal selamat gak ya?

Ting

“Lo mau ke Riri gak? Sebelum gua balik nih”

Dengan segera, dirinya pergi meninggalkan pelajaran terakhir tanpa sepengetahuan Jean.


“Jadi, Riri tuh sebenernya kenapa Ric?” tanya Kia.

“Diduga dia kena gangguan naristik. Dia mengganggap dirinya paling penting gitu, apalagi buat Jean. Makanya pas dia tahu Jean punya pacar, dia mau nyingkirin lo karena dia mau Jean memusatkan perhatiannya buat dia”

“Sampai mau nyingkirin itu?”

“Iya. Seorang yang merasa dirinya penting bakal selalu cari cara untuk menyingkirkan yang lain. That's why dia sempet dorong lo, nendang lo, dan berusaha nusuk lo kemaren. Dia pikir, kalo lo tersingkirkan, Jean bakal peduli sama dia”

But why Jean? Kan ada Javie, Harsa, Rehan..”

“Karena Jean tetangganya. Jaraknya kan gak terlalu jauh juga jadi gampang buat dimintain tolong. Kalo mereka, jaraknya jauh jauh dan Riri kenal mereka juga telat”

“Kenapa deh dia kayak gitu?”

“Mungkin dulu dia gak dipedulin ortunya? Atau terlalu dimanja? Gak ada yang tahu”

“Tuh Riri. Gua gak kasih izin lo buat masuk. Gua gak mau lo luka”

“Tapi Ric?”

“Gak Kia”

“Iya okay fine.”

Setelah usai menjenguk Riri, keduanya kembali pulang.



“Makan dulu Ki. Tadi lo makan aja gak abis,” bujuk Eric.

“Gua mau makan sama Ale”

“Ale bakal sedih kalo kamu gak makan. Makan ya?” kali ini Jean yang membujuk.

“Aku takut..” ujarnya. Air mata itu akhirnya keluar lagi tanpa izinnya dan membasahi pipi.

“Gak, Ale gak kenapa kenapa,” ujar Jean menenangkan sambil memeluknya.

Terhitung sudah 2 jam mereka menunggu di depan pintu operasi dan berharap dokter keluar membawa kabar baik untuk mereka semua.

“Dengan keluarga Ale?”

“Gi-gimana dok? Anak saya se-se-selamat kan?” tanya sang ayah.

“Dok. Tolong..” ucap sang ibu.

“Operasi berhasil. Kami sudah menghentikan pendarahannya dan sudah membersihkan bekasny. Namun, Ale harus beristirahat di rumah sakit dulu sampai keadaannya benar benar pulih”

Semua bernafas lega. Kia mengucapkan syukur pada Tuhan karena telah menyelamatkan adiknya, kedua orang tua yang menangis sambil mengucapkan terima kasih pada dokter dan Tuhan, begitu pula Eric.

“Ale sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang inap. Kalau begitu, saya permisi”

Setelah dokter keluar, semua teman Kia menghampirinya dan memberikan kekuatan pada Kia.

“Ale gak apa apa Ki. Jangan nangis terus,” ujar Fani menenangkan.

“Ale kuat Ki, dan akan selalu begitu,” sambung Rehan.



“Ric,” senggol Kia.

“Apaan? Lagi wibawa malah disenggol”

“Lo gak pernah ngomong?”

“Ya gimana.. Bokap nyuruh gua diem”

Sohn Corp atau dikenal dengan nama S. Corp merupakan perusahaan milik keluarga Eric. Setelah kejadian 2 tahun yang lalu, perusahaan ini terpaksa tutup. Namun berkat kegigihan Eric dibantu dengan Ale, selama 1 tahun terakhir ini, perusahaan ini kembali berdiri walau belum mencapai kejayaannya seperti dulu.

“Borgol dia pak,” perintah Eric pada orang orang yang mengenakan baju hitam.

“SAYA MINTA MAAF. SAYA MINTA MAAF. TOLONG LEPASKAN SAYA, SAYA MASIH PUNYA ANAK”

“Maaf pak, selesaikan semua di kantor. Mas, saya permisi”

“PAPI!”

“Dan untuk lo Riri.” Eric mengambil sebuah remote dan membuka tayangan CCTV yang pernah dirinya rekam.

“Lo psikopat”

“GAK. GUA GAK LAKUIN ITU”

“Yes you are, Clarissa”

“GAKKK!” Riri mengambil pisau kue yang ada di meja. Ia berlari dan hendak mencelakai Kia yang berdiri di sebelah Eric.

cek

Darah itu mengalir perlahan. Bajunya yang berwarna putih kini perlahan mulai ditutup dengan warna merah.

“A-Ale.. Ke-kenapa l-lo ge-geser..” Ale, dia terluka saat ini.

“LO SALAH SASARAN ANJING” teriak Kia. Spontan, Riri menjatuhkan pisau kue yang dipegangnya. Dirinya benar benar terkejut. Selain karena tindakan yang dilakukan, nyatanya dia juga salah sasaran.

“TANGKAP DIA!” suruh Eric.

“RIC, ALE RIC. ALE RIC” teriak Kia dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi pipinya.

“Ale...”

“Ayo ke rumah sakit. Jean tolong bantu bawa. Lo pada temen temennya tolong kuatin Kia”



Selama perjalanan, mereka hanya tertawa dan bersenang senang. Kia yang asik sendiri saja bahkan lupa bertanya kemana tujunnya kali ini.

“Dah turun,” ajak Eric.

“Lo ngasih gua makan pecel lele aja gua doyan. Ngapain ke hotel segala?” tanya Kia.

“Terakhir nih gua disini, jadi harus dinikmatin”

Ketiganya akhirnya masuk ke dalam hotel tersebut tanpa adanya kendala sedikitpun. Ternyata, semua pegawai di tempat ini sudah mengenal Eric. Wajar saja, ini milik keluarga ibunya.

Semua makanan telah dipesan dan telah dikeluarkan. Saat sedang menyantap makanan masing – masing, suara gaduh dari lantai atas membuat mereka sangat terganggu.

“Heboh banget,” celetuk Kia.

“Gua mau liat. Mau ikut?” ajak Eric. Tentunya Ale ingin ikut, namun Kia tidak.

“Yakin? Emang berani lo?” ejek Ale.

“Kampret. Yaudah gua ikut”

Dan naiklah mereka ke lantai 5.



Selama perjalanan, mereka hanya tertawa dan bersenang senang. Kia yang asik sendiri saja bahkan lupa bertanya kemana tujunnya kali ini.

“Dah turun,” ajak Eric.

“Lo ngasih gua makan pecel lele aja gua doyan. Ngapain ke hotel segala?” tanya Kia.

“Terakhir nih gua disini, jadi harus dinikmatin”

Ketiganya akhirnya masuk ke dalam hotel tersebut tanpa adanya kendala sedikitpun. Ternyata, semua pegawai di tempat ini sudah mengenal Eric. Wajar saja, ini milik keluarga ibunya.

Semua makanan telah dipesan dan telah dikeluarkan. Saat sedang menyantap makanan masing – masing, suara gaduh dari lantai atas membuat mereka sangat terganggu.

“Heboh banget,” celetuk Kia.

“Gua mau liat. Mau ikut?” ajak Eric. Tentunya Ale ingin ikut, namun Kia tidak.

“Yakin? Emang berani lo?” ejek Ale.

“Kampret. Yaudah gua ikut”

Dan naiklah mereka ke lantai 5.



“EH EH ITU KAK HARSA,” teriak salah satu adik kelas yang telah menunggu. Benar saja, semua orang telah menunggu Harsa sejak tadi.

“Tenang, gua ini orangnya selalu menepati janji”

“Pret. Itu duitnya Jean guys. Jangan percaya sama Harsa,” celetuk Fani.


Dipesannya bakso untuk orang orang yang kini berada di kantin. Satu per satu mangkok mulai diantarkan dan satu per satu orang mulai memakannya.

Asik di tengah aktivitas makannya, Harsa sempat pergi entah ke mana. Tidak ada yang peduli karena bakso di depannya lebih menggoda dari pada Harsa.

“FAN!” teriaknya.

Tentu, satu sekolah melihat ke arah teriakan tersebut. Harsa yang memegang satu bucket bunga itu mulai berjalan menghampiri Fani.

“CIEE KAK FANII” teriak seisi kantin.

“Fan, gua tahu gua gila. Tapi, gua gak sanggup lagi kalau harus nahan”

“Jadi?”

“Lo mau gak jadi pacar gua?”

“CIEEEE”

Di tengah keributan itu, Jean datang. Ia langsung menghampiri meja teman temannya dan duduk di sebelah pacarnya, Kia. Sebelum duduk, ia sempat berbisik pada Harsa dan menepuk pundaknya.

“Lo mau gak?” tanyanya lagi. Kali ini, Harsa berlutut sambil memberikan bucket yang telah ia bawa.

“Terima aja. Dari pada lo nangis nangis,” celetuk Kenzie.

“Lama ah lo. Kasian itu Harsa lumutan,” celetuk Rehan.

“Terima dong temen gua. Kasian tuh,” kali ini Javie yang yang berbicara.

“Mau,” katanya perlahan.

“Apa Fan? Gak denger”

“Iya mau, Harsa,” ulangnya mulai keras.

“Apa sih Fan? Kecil banget.” Sebenarnya, Harsa mendengarnya, namun ia mau mengerjai Fani.

“Teriak Fan,” celetuk Jean.

“IYA MAU HARSA”

“CIEEEEE KAK HARSA CIEEE”

Fani mengambil bunga dari tangan Harsa dan memeluknya di hadapan banyak orang.

“Flashback Kia Jean gak sih?” tanya Kenzie.

“Bedanya Jean di tengah lapangan,” sahut Javie.

“Jangan diingetin dong. Malu bro,” jawab Kia.


“Waduh selamat ya bro, pj jangan lupa,” sahut Rehan.

“Permen karet mau?”

“Anjing. Sama aja kayak pasangan depan gua,” ujar Javie.

“Gak suka aja lo,” jawab Kia.



“EH EH ITU KAK HARSA,” teriak salah satu adik kelas yang telah menunggu. Benar saja, semua orang telah menunggu Harsa sejak tadi.

“Tenang, gua ini orangnya selalu menepati janji”

“Pret. Itu duitnya Jean guys. Jangan percaya sama Harsa,” celetuk Fani.


Dipesannya bakso untuk orang orang yang kini berada di kantin. Satu per satu mangkok mulai diantarkan dan satu per satu orang mulai memakannya.

Asik di tengah aktivitas makannya, Harsa sempat pergi entah ke mana. Tidak ada yang peduli karena bakso di depannya lebih menggoda dari pada Harsa.

“FAN!” teriaknya.

Tentu, satu sekolah melihat ke arah teriakan tersebut. Harsa yang memegang satu bucket bunga itu mulai berjalan menghampiri Fani.

“CIEE KAK FANII” teriak seisi kantin.

“Fan, gua tahu gua gila. Tapi, gua gak sanggup lagi kalau harus nahan”

“Jadi?”

“Lo mau gak jadi pacar gua?”

“CIEEEE”

Di tengah keributan itu, Jean datang. Ia langsung menghampiri meja teman temannya dan duduk di sebelah pacarnya, Kia. Sebelum duduk, ia sempat berbisik pada Harsa dan menepuk pundaknya.

“Lo mau gak?” tanyanya lagi. Kali ini, Harsa berlutut sambil memberikan bucket yang telah ia bawa.

“Terima aja. Dari pada lo nangis nangis,” celetuk Kenzie.

“Lama ah lo. Kasian itu Harsa lumutan,” celetuk Rehan.

“Terima dong temen gua. Kasian tuh,” kali ini Javie yang yang berbicara.

“Mau,” katanya perlahan.

“Apa Fan? Gak denger”

“Iya mau, Harsa,” ulangnya mulai keras.

“Apa sih Fan? Kecil banget.” Sebenarnya, Harsa mendengarnya, namun ia mau mengerjai Fani.

“Teriak Fan,” celetuk Jean.

“IYA MAU HARSA”

“CIEEEEE KAK HARSA CIEEE”

Fani mengambil bunga dari tangan Harsa dan memeluknya di hadapan banyak orang.

“Flashback Kia Jean gak sih?” tanya Kenzie.

“Bedanya Jean di tengah lapangan,” sahut Javie.

“Jangan diingetin dong. Malu bro,” jawab Kia.


“Waduh selamat ya bro, pj jangan lupa,” sahut Rehan.

“Permen karet mau?”

“Anjing. Sama aja kayak pasangan depan gua,” ujar Javie.

“Gak suka aja lo,” jawab Kia.


Hari berikutnya, Riri dan Kia yang satu kelas ini sedang dalam pelajaran olahraga. Kebetulan, hari ini Jean diminta pihak sekolah untuk pergi ke tempat lain karena minggu depan dirinya akan melakukan lomba basket.

“Kia,” panggilnya perlahan.

“Apa?”

“Jean eskul sama kamu ya?”

“Iya”

“Kapan pindahnya? Kok aku gak tahu”

“Dia pindah kapan juga bukan urusan lo sih”

“Tapi kan aku udah larang dia buat pindah ikut kamu”

“Nyatanya Jean yang mau pindah. Jadi yaudah”

“Tapi gak bisa giti. Jean kan udah janji sama aku”

“Pertanyaannya, kapan Jean janji sama lo?” Yang ditanya hanya terdiam seribu bahasa.

Kicep kan lo

“Tapi intinya gak boleh gitu. Atau kamu ya yang pindahin Jean?”

“Kalo gua kenapa?”

“Gak boleh gitu Kia. Selain kamu gak ngomong sama aku, kamu gak izin Jean buat pindahin dia”

“Dia yang mau, yaudah.. Lagian, gua izin lo buat apa deh? Lo nyokapnya?”

Emosi Riri semakin mencapai puncak. Tanpa sadar, tangan kanannya melayang dan mengenai sasaran.

Plak

“Eh lo gila? Cuma gini doang lo nampar gua?”

“Ya Kia juga ngeselin”

“Lo kenapa deh? Dari dulu, abis gua balikin pasti mainnya begini”

“Kenapa deh? Aku kan emang begini”

“Lo aneh”

Yang dikatain tentu tidak terima. Akhirnya, Riri mulai menarik rambut Kia.

“Enyah kamu Kia”

Kia tentu tidak diam. Ia membalasnya sehingga terjadi perkelahian hebat antara Kia dan Riri di lapangan.

“Musnah lo bangsat”

“Kamu yang pergi! Jean punyaku”

“Ngaco. Halu. Jean punya gua”

“Punya aku”

“PUNYA GUA ANJING. LO SIAPA”

“AKU SAHABATNYA”

“JEAN GAK PERNAH ANGGAP LO SAHABAT”

“PERNAH! DIA NGOMONG ITU DI DEPAN KELUARGANYA!”

“AKTING. NGERTI GAK LO?”

“POKONYA JEAN PUNYA GUA”

“GUA ANJING”

Bugh

“WAH LO NONJOK GUA? MAJU LO SINI”

“GAK TAKUT”

“JANGAN DICAKAR”

“TANGAN GUA LO CAKAR DULUAN YA BANGSAT”

“YA ITU SALAH KAMU”

“KOMA KAMU, LO TUH”

Anehnya, tidak ada yang melerai, termasuk guru disana. Semua menjadi penonton, ahkan, yang sedang belajar di kelas terpaksa keluar demi melihat perkelahian hebat ini.

Kia yang selama ini sabar telah kehilangan kesabaran dan Riri yang selama ini polos telah berubah menjadi ganas.



Hari berikutnya, Riri dan Kia yang satu kelas ini sedang dalam pelajaran olahraga. Kebetulan, hari ini Jean diminta pihak sekolah untuk pergi ke tempat lain karena minggu depan dirinya akan melakukan lomba basket.

“Kia,” panggilnya perlahan.

“Apa?”

“Jean eskul sama kamu ya?”

“Iya”

“Kapan pindahnya? Kok aku gak tahu”

“Dia pindah kapan juga bukan urusan lo sih”

“Tapi kan aku udah larang dia buat pindah ikut kamu”

“Nyatanya Jean yang mau pindah. Jadi yaudah”

“Tapi gak bisa giti. Jean kan udah janji sama aku”

“Pertanyaannya, kapan Jean janji sama lo?” Yang ditanya hanya terdiam seribu bahasa.

Kicep kan lo

“Tapi intinya gak boleh gitu. Atau kamu ya yang pindahin Jean?”

“Kalo gua kenapa?”

“Gak boleh gitu Kia. Selain kamu gak ngomong sama aku, kamu gak izin Jean buat pindahin dia”

“Dia yang mau, yaudah.. Lagian, gua izin lo buat apa deh? Lo nyokapnya?”

Emosi Riri semakin mencapai puncak. Tanpa sadar, tangan kanannya melayang dan mengenai sasaran.

Plak

“Eh lo gila? Cuma gini doang lo nampar gua?”

“Ya Kia juga ngeselin”

“Lo kenapa deh? Dari dulu, abis gua balikin pasti mainnya begini”

“Kenapa deh? Aku kan emang begini”

“Lo aneh”

Yang dikatain tentu tidak terima. Akhirnya, Riri mulai menarik rambut Kia.

“Enyah kamu Kia”

Kia tentu tidak diam. Ia membalasnya sehingga terjadi perkelahian hebat antara Kia dan Riri di lapangan.

“Musnah lo bangsat”

“Kamu yang pergi! Jean punyaku”

“Ngaco. Halu. Jean punya gua”

“Punya aku”

“PUNYA GUA ANJING. LO SIAPA”

“AKU SAHABATNYA”

“JEAN GAK PERNAH ANGGAP LO SAHABAT”

“PERNAH! DIA NGOMONG ITU DI DEPAN KELUARGANYA!”

“AKTING. NGERTI GAK LO?”

“POKONYA JEAN PUNYA GUA”

“GUA ANJING”

Bugh

“WAH LO NONJOK GUA? MAJU LO SINI”

“GAK TAKUT”

“JANGAN DICAKAR”

“TANGAN GUA LO CAKAR DULUAN YA BANGSAT”

“YA ITU SALAH KAMU”

“KOMA KAMU, LO TUH”

Anehnya, tidak ada yang melerai, termasuk guru disana. Semua menjadi penonton, ahkan, yang sedang belajar di kelas terpaksa keluar demi melihat perkelahian hebat ini.

Kia yang selama ini sabar telah kehilangan kesabaran dan Riri yang selama ini polos telah berubah menjadi ganas.



Hari berikutnya, Riri dan Kia yang satu kelas ini sedang dalam pelajaran olahraga. Kebetulan, hari ini Jean diminta pihak sekolah untuk pergi ke tempat lain karena minggu depan dirinya akan melakukan lomba basket.

“Kia,” panggilnya perlahan.

“Apa?”

“Jean eskul sama kamu ya?”

“Iya”

“Kapan pindahnya? Kok aku gak tahu”

“Dia pindah kapan juga bukan urusan lo sih”

“Tapi kan aku udah larang dia buat pindah ikut kamu”

“Nyatanya Jean yang mau pindah. Jadi yaudah”

“Tapi gak bisa giti. Jean kan udah janji sama aku”

“Pertanyaannya, kapan Jean janji sama lo?” Yang ditanya hanya terdiam seribu bahasa.

Kicep kan lo

“Tapi intinya gak boleh gitu. Atau kamu ya yang pindahin Jean?”

“Kalo gua kenapa?”

“Gak boleh gitu Kia. Selain kamu gak ngomong sama aku, kamu gak izin Jean buat pindahin dia”

“Dia yang mau, yaudah.. Lagian, gua izin lo buat apa deh? Lo nyokapnya?”

Emosi Riri semakin mencapai puncak. Tanpa sadar, tangan kanannya melayang dan mengenai sasaran.

Plak

“Eh lo gila? Cuma gini doang lo nampar gua?”

“Ya Kia juga ngeselin”

“Lo kenapa deh? Dari dulu, abis gua balikin pasti mainnya begini”

“Kenapa deh? Aku kan emang begini”

“Lo aneh”

Yang dikatain tentu tidak terima. Akhirnya, Riri mulai menarik rambut Kia.

“Enyah kamu Kia”

Kia tentu tidak diam. Ia membalasnya sehingga terjadi perkelahian hebat antara Kia dan Riri di lapangan.

“Musnah lo bangsat”

“Kamu yang pergi! Jean punyaku”

“Ngaco. Halu. Jean punya gua”

“Punya aku”

“PUNYA GUA ANJING. LO SIAPA”

“AKU SAHABATNYA”

“JEAN GAK PERNAH ANGGAP LO SAHABAT”

“PERNAH! DIA NGOMONG ITU DI DEPAN KELUARGANYA!”

“AKTING. NGERTI GAK LO?”

“POKONYA JEAN PUNYA GUA”

“GUA ANJING”

Bugh

“WAH LO NONJOK GUA? MAJU LO SINI”

“GAK TAKUT”

“JANGAN DICAKAR”

“TANGAN GUA LO CAKAR DULUAN YA BANGSAT”

“YA ITU SALAH KAMU”

“KOMA KAMU, LO TUH”

Anehnya, tidak ada yang melerai, termasuk guru disana. Semua menjadi penonton, ahkan, yang sedang belajar di kelas terpaksa keluar demi melihat perkelahian hebat ini. > Kia yang selama ini sabar telah kehilangan kesabaran dan Riri yang selama ini polos telah berubah menjadi ganas.