valseachn

🍂


Sierra kini berjalan menghampiri kekasihnya yang sedang terduduk memperhatikan motor barunya.

“Sini duduk,” ujarnya sambil mengulurkan tangan kanannya. Entah untuk apa, tapi Raja sering melakukannya.

“Jauh amat. Sini.”

Sang hawa tidak bergerak untuk mendekat sehingga Raja memutuskan dirinyalah yang mendekat pada Sierra. Ia langsung memeluk tubuh hawa yang lebih kecil darinya itu.

“Lo kedinginan? Mau pakai jaket gua?” tanya Raja padanya sambil mengusap pipi sang hawa.

“Gausah. Kalau gua pakai malah lo yang kedinginan.”

“Lah biarinlah. Gua bahkan rela lakuin apa aja demi lo.”

Raja langsung melepaskan jaket yang menempel pada tubuhnya dan memakaikannya pada Sierra.

“Beneran?”

“Bener.”

“Makasih.”

Sierra memberikan hadiah pada Raja berupa sebuah pelukan hangat. Raja sangat menyukai pelukan dari sang kekasihnya ini, begitu pula sebaliknya.

“Btw, gua mau nanya. Boleh?”

“Apa?”

“Gua boleh naik motor lo gak?”

“Naik doang tiap hari juga lo lakuin Ra.”

“Maksudnya ngendarain.”

“Gak.”

Sierra memang nemiliki keingan untuk mengendarai motor, khusunya motor sport milik kekasihnya maupun milik abangnya, namun keduanya tidak merestui. Dan berakhirlah Sierra tidak bisa mengendarai motor sampai saat ini.

“Jangan motor ya Ra. Mobil aja. Kalau motor nanti lo jatoh. Kalau mobil lo gak bakal jatoh karena rodanya empat.”


🍃


Jam sudah menunjukkan pukul 6.15

“Kia kemana?” tanya sang ayah.

“Lagi di kamar mandi”

“Aduh ayah telat ini. Setengah tujuh kalau Kia belum turun ayah tinggal ya”

“Terus kakak berangkat sama siapa yah?”

“Nebeng tetangga sebelah aja. Satu sekolah kan?”

“Ya gak enak dong yah,” sang ibu menyambar.

“Ayah telat ini bun”

“Tunggu sebentar deh yah. Nanti sarapannya Kia bunda siapin, biar dia makan di mobil aja”

Hingga pukul 6.25, Kia beum juga keluar dari kamarnya.

“Ayah telat. Ayah harus berangkat”

“Aku ikut ayah?”

“Iya. Yuk”

“Yaudah. Bunda, Ale berangkat ya sama ayah”

Dan kedunya kini yelah berangkat.

“BUNDAA. AYAH MANAA”

“Kakak nebeng sama tetangga sebelah ya. Jean namanya. Bunda udah bilangin”

“IH GAK MAU AH MALU BUN”

“Malu kali kak sama umur. Udah kelas 9 juga”

“Ya tapi kan..”

“Udah sini duduk makan, bunda kuncirin rambut kamu”


🍃


Keluarga Kia kini telah tiba di sebuah hotel bintang 5 untuk melakukan kegiatan makan malam dengan seseorang.

“Jeng!” panggil wanita sebaya dari arah berlawanan.

Wanita itu datang bersama sosok yang tidak asing bagi Kia.

“Lah? Yang di twitter bukan sih? Yang ngatain gua bloon“

“Duh maaf ya telat, macet”

“Gapapa jeng, aku juga baru sampai”

“Ini kenalan dulu. Ayo Jordan kenalan sama dia”

“Jordan,” ujarnya sambil menjulurkan tangannya.

“Kia,” jawabnya.

“Yuk duduk duduk”


Makan malam pun berlangsung dan syukurlah semua berjalan dengan lancar. Usai makan, wanita sebaya itu meminta Jordan untuk mengajak Kia jalan jalan mencari udara segar. Sejujurnya dirinya malas, namun ini ada perintah dari sang ibu maka harus ia lakukan.

“Ayo,” ajak Jordan.

“Bunda..” rengek Kia pada sang ibu. Ia tidak mau. Ia mau bersama dengan keluarganya bahkan sampai acara makan malam ini usai.

“Gapapa kak. Sana”

Dan akhirnya berangkatlah mereka.

“Lo manja banget. Bunda...” ledeknya.

“Nyokap juga nyokap gua kenapa lo repot”

“Gua gak suka cewe manja”

“Gua juga gak suka sama lo”


🍃


Kia turun dari kamarnya menuju lantai bawah untuk makan bersama dengan keluarganya.

“Sini kak,” ajak sang ayah.

Perlahan, Kia melangkahkan kakinya mendekati meja itu.

“Makan dulu kak”

Nasi, lauk, dan sayur diambilkan sang ibu. Seperti biasa, porsinya selalu pas untuk Kia.

Di tengah acara, Ale membuat keributan dan membuat satu sama lain tertawa, namun tidak dengan Kia. Dirinya diam sejak tadi. Ia pusing memikirkan Jordan, dirinya, Jean, dan hal lainnya.

“Ngapa lo? Tipes?” tanya Ale.

“Bun. Kia mau”

“Mau apa kak?”

“Mau nerima perjodohan ini”

“Kamu beneran mau?”

“Iya. Tapi aku gak mau lanjut ke pernikahan sampai aku bisa hilangin sikap buruknya”

“Iya terserah kamu kak. Tapi ingat ya, jangan ubah dia jadi seperti Jean. Cukup ubah sikap buruknya”

“Ntar kalo lo nikah bakal ikut suami gak kak?” tanya Ale.

“Menurut lo?”

“Ikut”

“Nah pinter”

“Berarti bakal sepi dong rumah”

“Kangen ye lo.. Tenang, masih lama”

“Gua malah seneng kalo rumah gaada lo. Tentram. Hawa negatifnya gaada”

“Kampret”


🍃


Setelah keputusan yang sulit, akhirnya hari ini Kia memutuskan untuk bertemu orang yang dijodohkan untuknya.

“Kia ya? Masuk masuk” ujar salah satu pelayan. Dirinya menuntun Kia dan kedua orang tuanya masuk menuju ruang makan.

Seperti biasa, kedua orang tua berbincang dan anak anak hanya bermain handphone.

“Jordan, itu Kia nya diajak ngobrol,” ujar sang ibu.

“Ya.” Jordan memang seperti itu. Selalu menjawab tapi tidak pernah melakukan.

“Jordan..” kali ini sang ayah yang membuka suara. Jordan memang takut pada ayahnya, jadi saat ayahnya ini membuka suara, ia langsung mengajak Kia pergi.

“Lo mau?”

“Apaan?”

“Dijodohin”

“Gak, apalagi sama lo. Gak akan”

“Kenapa?”

“Lo gak dengerin kata nyokap lo. Lo pikir oke lo kayak gitu?”

“Kebiasaan”

“Kebiasaan lo jelek”

Kia hendak kembali ke dalam namun dirinya ditahan oleh sang pria.

“Apaan? Jangan sampai Jean nyamperin lo”

“Jean siapa?”

“Calon gua”

“Kalo calon kok gak dateng? Nih cewenya mau jadi istri gua masa diem”

“Diatas,” jawabnya sambil menunjuk langit. Spontan, Jordan langsung melepaskan gengamannya.

“Lo gak papa?”

“Kalo gua bilang gapapa lo percaya?”

“Enggak. Tapi gua yakin lo wanita kuat,” ujarnya sambil mengelus punggung sang hawa. Nyaman, seperti Jean dulu namun tidak dengan sifatnya.


🍃


Pikiran Kia kini dipenuhi oleh pesanan para pengunjung yang tak usai. Lelah? Pasti. Nyerah? Tidak akan pernah.

“Ibu istirahat aja. Kita bisa kok layani mereka semua,” ujar salah satu pegawainya.

Memang Kia terlihat sangat lelah, bahkan mata pandanya menggambarkan semua keadaan yang dirinya rasakan saat ini.

“Gapapa, saya bisa kok”

“Bu.. kita gapapa kok. Ibu istirahat saja. Ibu sudah begadang 5 hari ini, jadi ibu istirahat saja dan biarkan kami yang bekerja”

“Maaf ya”

“Gapapa bu”

Dan ya, Kia pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun sebeum pulang, ia mampir ke pemakaman sang kekasih, Jean.

“Hi Jean. Apa kabar?”

Dielusnya batu nisan itu perlahan.

“Aku kangen”

Air mata kini kembali membasahi dirinya. Dulu Kia berjanji pada dirinya setelah Jean mampir ke mimpinya saat itu, ia berjanji untuk tidak menangis di rumah Jean. Namun nyatanya, Kia melanggar janji itu.

“Kalau aku minta sama Tuhan buat kembaliin kamu bisa?”

“Aku butuh sosok orang kayak kamu, yang selalu ada untuk aku, yang selalu peluk aku dan memberikan kehangatan buat aku”

“Jean, ayo kembali”

Seperti yang pernah Kia katakan saat itu, “Ikhlas itu bohong, namun harus dicoba” Seperti itulah keadaannya sampai saat ini. Kia ikhlas namun tidak 100% ikhlas.

Butiran air kini turun dan membasahi bumi dan isinya.

“Jean, aku pamit ya. Dadah”

Dielusnya sekali lagi sebelum ia berlari menuju mobilnya.

Sepuluh menit dirinya berdiam diri di mobil, entah apa yang ia pikirkan namun ini menjadi rutinitasnya setiap berkunjung ke rumah Jean. Setelah 10 menit berlalu, dirinya melajukan mobilnya menuju kediamannya untuk beristirahat.


🍃


Tidak lama kemudian, Kia memutuskan untuk kembali ke rumah.

“Kia pulang”

“Udah nyarap kak?” tanya sang ibunda.

“Blom bun”

“Yaudah sini nyarap bareng. Tuh piringnya udah bunda siapin juga”

“Bentar. Kia mau cuci tangan dulu”

“Hari ini rencana mau ngapain kak?” tanya sang ayah.

“Gak tahu. Mungkin ke butik kayak biasa”

“Lagi ada pesenan?” tany Ale menyambar.

“Iya. Ada yang mau nikah”

Dan semua pun terdiam. Mengingat kejadian 2 tahun lalu, dimana putrinya ini gagal nikah karena calonnya pergi dibawa ombak.

“Bunda mau ke rumah mama nya Jean. Kakak gak mau ikut?”

“Takut..”

Kia takut untuk bertemu dengan keluarga Jean. Ia merasa bersalah karena dirinyalah yang membawa Jean pergi ke pantai saat itu.

“Tante Desi gak sejahat itu Kia”

“Gak dulu deh bun. Nanti aja”

“Yaudah kalau kamu mau nya gitu”


Sejak kepergian Jean, tidak ada lagi alasan bagi Kia untuk tidur malam. Biasanya, Jean selalu menemani Kia yang begadang, entah dengan alunan musik yang indah, tawa candanya, dan hal random lainnya.

Dunia Mimpi

“Kiana!” panggilnya. Suara tersebut mendekat. Dekat dan semakin dekat.

“Si-siapa?”

Cahaya itu mulai menerangi ruangan yang sedikit redup. Benar, Jean yang meneranginya.

“JEAN!” Sang hawa segera memeluk sang adam dan mencurahkan segala air matanya di pundak sang adam.

“Aku kangen kamu”

“Aku juga. Aku juga Jean”

“Ayo kita keliling. Kamu pasti suka tempat ini”

Jean segera mengandeng sang hawa. Namun, sang hawa tidak menggerakkan badannya. Ia takut.

“Kenapa?”

“Aku takut”

“Jangan takut, aku disini. Aku kenal tempat ini, jadi gak bakal kesasar”

Setelah bujukkan beribu ribu kali, akhirnya Kia menurut dan melangkahkan kakinya untuk mengikuti Jean.

“Ini.. di pantai waktu itu?” tanya Kia. Jean menggandeng Kia lagi dan membawanya mendekati wilayah laut.

“Jangan. Nanti kebawa ombak”

Namun tetap, Jean tetap membawa Kia.

“Inget gak? Dulu kita foto prewed di tempat ini. Terus sebelum pulang, kita foto foto dulu. Dan-”

“Jangan dilanjut. Aku gak mau”

“Kia”

“Jean... Sayang..”

“Maafin aku. Aku ninggalin kamu gitu aja tanpa berpamitan”

“Kamu gak salah Jen, sama sekali engga. Aku yang salah ngajak photo prewed disini. Harusnya di Jakarta aja”

“Enggak. Kamu gak salah. Jangan salahkan diri kamu ya?”

“Jean...”

Kia kembali menangis. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Jean. Apa Jean mau mengulang kejadian hari itu? Atau?

“Maafin aku ya? Dan izinkan aku pergi”

“Kenapa harus pergi? Disini aja sama aku, Jean”

“Tuhan manggil aku. Tuhan mau aku kembali”

“Kenapa? Aku disini lebih sayang sama kamu”

“Aku tahu. Aku juga sayang sama kamu, tapi Tuhan lebih sayang aku melebihi aku dan kamu saling menyayangi”

“Jean..”

“Bolehkan aku pergi?”

Kia hanya bisa menangis dan sang adam hanya bisa memeluk. Mengelus pundak perlahan dan menenangkan. Dirinya terus mencoba agar Kia ikhlas dan rela melepaskannya.

Setelah sedikit tenang dan diam dalam seribu bahasa, perpisahan itu benar terjadi.

“Bahagia selalu ya Jean. Kamu akan selalu menjadi pemilik hatiku”

Sang adam tersenyum dan mengecup dahi sang hawa dengan begitu hangatnya.

“Terima kasih. Aku pergi ya?”

“Selamat jalan Jean”

Lambaian tangan menjadi akhir dari perjumpaan mereka. Ombak mulai membawa Jean pergi dan hilang dari hadapan Kia. Dirinya yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa tersenyum.

Senyuman itu tidak berlangsung lama. Kini semua senyuman itu telah lenyap dan berubah menjadi kesedihan. Air mata kembali jatuh dan membahasi pipinya. Kakinya lemas. Kini dirinya pingsan.


Inhale the future, exhale the past.


Sejak kepergian Jean, tidak ada lagi alasan bagi Kia untuk tidur malam. Biasanya, Jean selalu menemani Kia yang begadang, entah dengan alunan musik yang indah, tawa candanya, dan hal random lainnya.

Dunia Mimpi


“Kiana!” panggilnya. Suara tersebut mendekat. Dekat dan semakin dekat.

“Si-siapa?”

Cahaya itu mulai menerangi ruangan yang sedikit redup. Benar, Jean yang meneranginya.

“JEAN!” Sang hawa segera memeluk sang adam dan mencurahkan segala air matanya di pundak sang adam.

“Aku kangen kamu”

“Aku juga. Aku juga Jean”

“Ayo kita keliling. Kamu pasti suka tempat ini”

Jean segera mengandeng sang hawa. Namun, sang hawa tidak menggerakkan badannya. Ia takut.

“Kenapa?”

“Aku takut”

“Jangan takut, aku disini. Aku kenal tempat ini, jadi gak bakal kesasar”

Setelah bujukkan beribu ribu kali, akhirnya Kia menurut dan melangkahkan kakinya untuk mengikuti Jean.

“Ini.. di pantai waktu itu?” tanya Kia. Jean menggandeng Kia lagi dan membawanya mendekati wilayah laut.

“Jangan. Nanti kebawa ombak”

Namun tetap, Jean tetap membawa Kia.

“Inget gak? Dulu kita foto prewed di tempat ini. Terus sebelum pulang, kita foto foto dulu. Dan-”

“Jangan dilanjut. Aku gak mau”

“Kia”

“Jean... Sayang..”

“Maafin aku. Aku ninggalin kamu gitu aja tanpa berpamitan”

“Kamu gak salah Jen, sama sekali engga. Aku yang salah ngajak photo prewed disini. Harusnya di Jakarta aja”

“Enggak. Kamu gak salah. Jangan salahkan diri kamu ya?”

“Jean...”

Kia kembali menangis. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Jean. Apa Jean mau mengulang kejadian hari itu? Atau?

“Maafin aku ya? Dan izinkan aku pergi”

“Kenapa harus pergi? Disini aja sama aku, Jean”

“Tuhan manggil aku. Tuhan mau aku kembali”

“Kenapa? Aku disini lebih sayang sama kamu”

“Aku tahu. Aku juga sayang sama kamu, tapi Tuhan lebih sayang aku melebihi aku dan kamu saling menyayangi”

“Jean..”

“Bolehkan aku pergi?”

Kia hanya bisa menangis dan sang adam hanya bisa memeluk. Mengelus pundak perlahan dan menenangkan. Dirinya terus mencoba agar Kia ikhlas dan rela melepaskannya.

Setelah sedikit tenang dan diam dalam seribu bahasa, perpisahan itu benar terjadi.

“Bahagia selalu ya Jean. Kamu akan selalu menjadi pemilik hatiku”

Sang adam tersenyum dan mengecup dahi sang hawa dengan begitu hangatnya.

“Terima kasih. Aku pergi ya?”

“Selamat jalan Jean”

Lambaian tangan menjadi akhir dari perjumpaan mereka. Ombak mulai membawa Jean pergi dan hilang dari hadapan Kia. Dirinya yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa tersenyum.

Senyuman itu tidak berlangsung lama. Kini semua senyuman itu telah lenyap dan berubah menjadi kesedihan. Air mata kembali jatuh dan membahasi pipinya. Kakinya lemas. Kini dirinya pingsan.


Inhale the future, exhale the past.


Sejak kepergian Jean, tidak ada lagi alasan bagi Kia untuk tidur malam. Biasanya, Jean selalu menemani Kia yang begadang, entah dengan alunan musik yang indah, tawa candanya, dan hal random lainnya.

Dunia Mimpi

“Kiana!” panggilnya. Suara tersebut mendekat. Dekat dan semakin dekat.

“Si-siapa?”

Cahaya itu mulai menerangi ruangan yang sedikit redup. Benar, Jean yang meneranginya.

“JEAN!” Sang hawa segera memeluk sang adam dan mencurahkan segala air matanya di pundak sang adam.

“Aku kangen kamu”

“Aku juga. Aku juga Jean”

“Ayo kita keliling. Kamu pasti suka tempat ini”

Jean segera mengandeng sang hawa. Namun, sang hawa tidak menggerakkan badannya. Ia takut.

“Kenapa?”

“Aku takut”

“Jangan takut, aku disini. Aku kenal tempat ini, jadi gak bakal kesasar”

Setelah bujukkan beribu ribu kali, akhirnya Kia menurut dan melangkahkan kakinya untuk mengikuti Jean.

“Ini.. di pantai waktu itu?” tanya Kia. Jean menggandeng Kia lagi dan membawanya mendekati wilayah laut.

“Jangan. Nanti kebawa ombak”

Namun tetap, Jean tetap membawa Kia.

“Inget gak? Dulu kita foto prewed di tempat ini. Terus sebelum pulang, kita foto foto dulu. Dan-”

“Jangan dilanjut. Aku gak mau”

“Kia”

“Jean... Sayang..”

“Maafin aku. Aku ninggalin kamu gitu aja tanpa berpamitan”

“Kamu gak salah Jen, sama sekali engga. Aku yang salah ngajak photo prewed disini. Harusnya di Jakarta aja”

“Enggak. Kamu gak salah. Jangan salahkan diri kamu ya?”

“Jean...”

Kia kembali menangis. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Jean. Apa Jean mau mengulang kejadian hari itu? Atau?

“Maafin aku ya? Dan izinkan aku pergi”

“Kenapa harus pergi? Disini aja sama aku, Jean”

“Tuhan manggil aku. Tuhan mau aku kembali”

“Kenapa? Aku disini lebih sayang sama kamu”

“Aku tahu. Aku juga sayang sama kamu, tapi Tuhan lebih sayang aku melebihi aku dan kamu saling menyayangi”

“Jean..”

“Bolehkan aku pergi?”

Kia hanya bisa menangis dan sang adam hanya bisa memeluk. Mengelus pundak perlahan dan menenangkan. Dirinya terus mencoba agar Kia ikhlas dan rela melepaskannya.

Setelah sedikit tenang dan diam dalam seribu bahasa, perpisahan itu benar terjadi.

“Bahagia selalu ya Jean. Kamu akan selalu menjadi pemilik hatiku”

Sang adam tersenyum dan mengecup dahi sang hawa dengan begitu hangatnya.

“Terima kasih. Aku pergi ya?”

“Selamat jalan Jean”

Lambaian tangan menjadi akhir dari perjumpaan mereka. Ombak mulai membawa Jean pergi dan hilang dari hadapan Kia. Dirinya yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa tersenyum.

Senyuman itu tidak berlangsung lama. Kini semua senyuman itu telah lenyap dan berubah menjadi kesedihan. Air mata kembali jatuh dan membahasi pipinya. Kakinya lemas. Kini dirinya pingsan.


Inhale the future, exhale the past.